Kesabaran Dalam Perspektif Al-Ghazali (Tela'ah Sekilas atas Kitab Ihya Ulum ad-Din)

Kehidupan kita di dunia saat ini sejatinya merupakan medan "pertempuran" yang sengit antara kebenaran dan kebatilan. Walaupun di manapun dan dalam keadaaan apapun, konfrontasi antara dua

kubu tersebut akan senantiasa terjadi.


Dalam pandangan al-Ghazali, pengertian sabar adalah sejauh mana faktor keagamaan yang dimiliki

seseorang mampu tetap dan berdiri kukuh di tengah medan "pertempuran" tersebut.

Dalam bidang orang sufi, perjalanan hidup kita merupakan sebuah proses yang dinamik sekaligus menuju titik tertentu yang dikenal dengan istilah maqamat (posisi keagamaan).

Ada tiga fasa yang harus dilalui oleh seorang muslim dalam proses menuju maqam tertinggi. Ketiga fasa tersebut adalah fasa ma'rifah, fasa haliah dan fasa amaliah. Fasa ma'rifah merupakan landasan yang dapat mengantarkan seseorang menuju haliah (kondisi tertentu) dan pada akhirnya mencapai "destinasi" akhir berupa amaliah (aktualisasi).

Al-Ghazali mengibaratkan ma'rifah sebagai pohon, haliah sebagai cabang, sedangkan amaliah sebagai buahnya.

Orang yang sabar adalah orang yang mampu melepasi tiga fasa di atas dengan sempurna. Sebagai contoh, seorang muslim mengetahui dengan sebaik-baiknya (ma'rifah) tentang keutamaan shalat tahajud, lantas ia memiliki motifasi dan keinginan yang kuat untuk dapat melakukannya (haliah), dan pada akhirnya keinginan tersebut akhirnya diamalkan atau dilakukan dengan perbuatan
(amaliah).

Dari ilustrasi tersebut, dapat ditarik benang merah, bahwa hakikat sabar adalah sejauh mana faktor dan keagamaan yang dimiliki oleh seseorang mampu mengalahkan rasa malas, mengantuk,  lemah semangat dan semacamnya yang pada dasarnya merupakan pujukan hawa nafsu yang ada dalam dirinya, sehingga ia tetap melaksanakan shalat tahajud tersebut.

Sebagai catatan, untuk memperolehi predikat sebagai shabir (orang yang sabar), manusia mendapatkan "bantuan" dari para malaikat, sementara hawa nafsu mendapatkan "bantuan" dari para syaitan. Hanya segelintir kecil mereka sahaja yang ambil tahu dalam hal ini.

Dengan perkataan lain, manusia itu sendirilah yang memegang peranan penting dalam upaya membebaskan dirinya dari belenggu hawa nafsu.Dalam konteks ini, hatilah yang menjadi titik utama yang menjadi lahan garapan manusia. Ertinya, manusia harus mampu mengelola hatinya dengan sebaik-baiknya agar senantiasa berada dalam kendali agama dan dalam landasan kebenaran.

Manusia, ketika mencapai masa kedewasaannya, dianugerahi oleh Allah SWT dua kekuatan diri: salah satu dari kekuatan tersebut berfungsi menjadi penunjuk (al-hady) kepada fitrah dan kebenaran, sedangkan kekuatan yang lain berfungsi mengukuhkan dan membentengi dirinya dari pengaruh negatif yang datang dari dalam diri (nafsu) maupun dari luar (syaitan). Selanjutnya, ia juga diberi dua sifat atau karakter, yakni ma'rifat terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya serta ma'rifat terhadap sesuatu yang membawa kemaksiatan ataupun kemudaratan bagi dirinya. Oleh kerana manusia tumbuh dan berkembang sebagai makhluk yang spesifik yang sama sekali berbeza dengan binatang.

Dengan demikian, dalam proses menjadi manusia yang memiliki tingkat kesabaran tertinggi (shabirin), manusia harus merentasi jalan berliku dengan daya dan upayanya sendiri (mujahadah) -melalui potensi kekuatan dan sifat yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadanya, di samping memperolehi bantuan dari para malaikat.

Menurut al-Ghazali, dalam konteks iman sebagai kepercayaan kita kepada dasar-dasar agama (ushuludin) dan iman sebagai aktualisasi dari kepercayaan tersebut (amal), maka ia memiliki dua perangkat (rukun) yang harus dipenuhi. Kedua perangkat itu adalah keyakinan (al-yaqin) dan kesabaran (shabr).

Yang dimaksud dengan al-yaqin adalah pengetahuan yang benar akan Allah SWT (ma'rifat) yang termanifestasikan dalam ujud hidayah-Nya kepada seseorang untuk senantiasa percaya terhadap dasar-dasar agama (ushuludin). Sedangkan shabr adalah aktualisasi dari al-yaqin tersebut. Dengan al-yaqin, seseorang mengetahui bahwa berbuat dosa adalah hal yang membahayakan, sementara taat kepada Allah SWT adalah sesuatu yang bermanfaat, sementara itu ia tidak akan mampu meninggalkan perbuatan maksiat dan senantiasa taat kepada Allah SWT kecuali dengan shabr. Kerana
sejatinya sabar adalah faktor dan motif keagamaan (ba'its ad-din) dalam kerangka mengalahkan motif hawa nafsu (ba'its al-hawa) dan kemalasan.

Sedangkan dalam konteks iman hanya sebagai kondisi kondusif (al-ahwal) yang melahirkan amal nyata, maka ia memiliki dua perangkat pula, yakni shabr dan syukr. Sabar dibutuhkan ketika seseorang mengalami hal yang tidak menyenangkan, sedangan syukur diperlukan pada saat seseorang memperoleh kenikmatan.

Dengan demikian, dalam kedua konteks yang telah diuraikan di atas, sabar tetap menjadi sebahagian  dari keduanya. Hal ini semakin mempertegas bahawa sabar adalah sebagai salah satu perkara utama akhlaq al-karimah yang harus selalu melekat dan terpateri dalam karakter diri seorang mukmin.

Pembagian Sabar
Dalam pandangan al-Ghazali, sabar terbagi ke dalam dua sudut pandang, pertama: sabar ditinjau dari aspek subjek atau pelakunya,
kedua: sabar ditinjau dari aspek tingkat kekuatan dan kelemahannya.

Kedua segi umum ini kemudian terbagi lagi ke dalam beberapa sub bagian.

1. Sabar Ditinjau dari Aspek Subjeknya

Ditinjau dari aspek subjek atau pelakunya, sabar terbahagi kepada dua hal, yakni sabar yang bersifat fisik (badany) dan sabar yang bersifat psikis (nafsy). Sabar yang bersifat fisik (badany) ini dapat berwujud kesabaran dalam perbuatan (fi'ly), seperti sabar dalam melaksanakan ibadah shalat malam yang panjang dan meletihkan, dan dapat pula berupa ketabahan menanggung penderitaan (ihtimaly) seperti kesabaran untuk tidak membalas pukulan keras yang dilakukakan seseorang kepada kita atau sabar dalam cubaan sakit yang sangat parah. Sedangkan sabar yang bersifat psikis (nafsy) adalah kesabaran jiwa dan hati untuk tidak menuruti keinginan hawa nafsu.

2. Sabar Ditinjau dari Aspek Tingkat Kekuatan dan Kelemahannya

Sabar ditinjau dari aspek ini terbagi ke dalam beberapa bahagian iaitu :

a. Kemampuan mengendalikan dan mengalahkan hawa nafsu secara keseluruhannya sehingga tidak
    tersisa sedikitpun pergolakkan dari hawa nafsu tersebut.

b. Ketidakberdayaan sama sekali di hadapan pujuk rayu hawa nafsu, sehingga hanyut dan terjerumus 
    dalam kemaksiatan dan dosa.

c. Inkonsistensi dalam pengendalian hawa nafsu, sehingga terkadang yang bersangkutan mampu
    mengalahkannya, namun terkadang pula ia dikalahkan oleh hawa nafsu tersebut.

Sabar dalam aspek ini juga terbagi kepada :

a. Tashabur, artinya yang bersangkutan harus mengerahkan segenap kemampuannya dengan susah
    payah untuk mengalahkan nafsunya.

b. Shabr, artinya yang bersangkutan tidak perlu mengerahkan seluruh kemampuannya untuk dapat
    mengalahkan nafsunya. Dalam hal ini, yang mampu melakukannya adalah orang yang mempunyai  
    kualiti keimanan dan ketakwaan yang memadai. Dengan kualiti iman dan takwanya yang
    secukupnya, seberat apapun godaan dan cubaan dari hawa nafsu, baginya tetap merupakan lawan 
    yang mudah ditaklukkan dan dijinakkan.

Sebagai ilustrasi, seorang pegulat yang besar dan kuat akan dengan mudah mengalahkan lawannya yang kecil dan lemah (shabr), namun seorang pegulat yang kecil dan lemah harus susah payah mengerahkan seluruh kemampuan dan kekuatannya untuk mengalahkan lawannya
(tashabur).

Adapula sebagian ulama ahli ma'rifat yang membahagi tingkatan orang
yang senantiasa sabar (ahl shabr) ke dalam tiga tingkatan, yaitu :

a.Meninggalkan syahwat (keinginan nafsu), tingkatan ini adalah
tingkatan orang yang taubat (ta'ibin).

b.Redha dengan apa yang diberikan Allah SWT kepadanya, tingkatan ini
adalah tingkatan orang yang zuhud (zahidin).

c.Mahabah (mencintai) apa saja yang Allah SWT lakukan dan
perintahkan, dan ini adalah tingkatan orang-orang yang benar atau
lurus (shidiqin).

Semoga kita mampu menempati -paling tidak- salah satu tangga dari
banyak tangga yang ada dalam maqam sabar, Amin Ya Rabbal `Alamin.


Penulis adalah aktifis Thariqat Naqsyabandiyah Mesir, tinggal di
Mutsallats Hay Asyir.

Kesabaran Dalam Perspektif Al-Ghazali

(Tela'ah Sekilas atas Kitab Ihya Ulum ad-Din)
oleh : Taufiqurrahman *

Previous
Next Post »

Assalammualaikum w.k.t,

Jaga adab semasa komen dan berbaik-baiklah sesama blogger. Insaallah komen anda akan mselim3 balas... tunggu!!

Admin;mselim3 EmoticonEmoticon